Baru-baru ini, Lembaga Eijkmann merilis penemuan yang menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Taiwan, bukan dari Yunan seperti yang dipercaya oleh banyak orang. Saya pikir semua ilmuwan yang jujur percaya, bahwa antara intelejensia dengan ras sebenarnya tidak ada hubungan yang pasti. Bahwa sesungguhnya intelejensia ditentukan oleh faktor lingkungan. Namun benarkah bahwa lingkungan yang paling menentukan siapa diri kita? Bukankah istilah “lingkungan mempengaruhi segalanya” adalah istilah yang dipopulerkan Karl Marx, untuk mendorong revolusi kaum buruhnya? Bahwa menurut dia, pada akhirnya kesadaran manusia secara total ditentukan oleh relasi ekonomi politik antara kaum buruh dan kapitalis, tanpa memberi ruang terhadap kehendak bebas? Dengan demikian dimana kehendak bebas manusia? Apakah kehendak bebas hanya spekulasi ngelantur para eksistensialis seperti Sartre, Bergson, dan Iqbal, atau secara faktual ia “ada”?
Memang sekarang ini para ilmuwan cenderung ogah mengasosiasikan ras/gen terhadap manifestasi budaya manusia, itu dengan alasan kuat. Trauma perang dunia II, yang dipicu oleh Nazi Jermannya Hitler, yang bertujuan menghabisi kaum Yahudi, Gipsi, Homoseksual, Slavia, dan cacat di seluruh eropa membuat banyak orang cenderung menganggap mengasosiasikan gen/ras dengan budaya sebagai sikap “rasialisme”. Namun perhatikan ini, mengapa sih orang kulit hitam Amerika adalah kelompok yang paling produktif dalam hal kesenian, dibanding yang kulit putih? Rasanya sudah jamak kita kenal musik R&B, Hip-hop, dan tentu saja Jazz yang notabene ciptaan kaum Black American. Apakah itu murni faktor lingkungan? Atau pada kelompok Black Amerikan memiliki gen tertentu, yang memungkinkan mereka sukses dalam berkesenian, dimana interaksi optimal antara gen dan lingkungan memungkinkan mereka mengaktualisasikan dirinya sebagai seniman? Dan kemudian, mengapa justru kelompok bangsa yang paling berperan dalam perkembangan kebudayaan barat adalah orang Yahudi, dan bukan yang Kristen? Bukankah selama ini Bangsa Yahudi adalah kelompok yang paling konsisten dalam menjaga kemurnian rasnya, dengan melakukan pernikahan di kalangan mereka sendiri?
Agak lucu kecenderungan sebagian orang yang menganggap teorinya Darwin sebagai ideologi, yang kemudian kita adu dengan Islam. Pertama-tama, teori Darwin sebenarnya bukan ideologi, ia hanyalah salah satu teori dalam sains. Juga harus diletakkan bahwa kebenaran agama dan kebenaran ilmiah tidak sepantasnya dipertentangkan. Kebenaran agama adalah yang tertinggi, karena ia adalah wahyu, namun kebenaran ilmiah juga harus kita pengang, karena itu cara kita untuk mengaktualisasi diri kita dalam era globalisasi yang penuh tantangan ini. Namun kaum Nazi Jerman dan Uni Soviet membajaknya, sehingga ia menjadi ideologi. Teorinya Darwin sebenarnya sama saja dengan teori-teori lain dalam sains, hanya saja karena tidak ada cara untuk membuktikan secara pasti kalau evolusi itu terjadi (kecuali kalau kita punya mesin waktu), maka ia belum bisa disebut sebagai “hukum”. Sama saja dengan teori atom, karena tidak ada seorangpun yang bisa melihat tanpa bantuan instrumen super canggih, maka ia tinggal teori saja, dan tidak bisa dibilang hukum (Seperti hukum Newton).
Menarik juga antropobiologi itu. Sebenarnya bila orang mempelajari Biologi secara mendalam, akan menemukan bahwa sesungguhnya secara biologis manusia itu sama. Penampakan rasial yang berbeda, seperti warna kulit, bentuk mata, warna rambut, dll, itu hanyalah merupakan penampakan yang bersifat permukaan. Bila semua itu kita “singkirkan”, kita akan melihat bahwa manusia memiliki fungsi organ yang sama, dan gen yang sebenarnya sama juga. Namun interaksi antara gen dan lingkungan itulah yang menentukan menjadi apa si manusia itu. Interaksi antara gen dengan lingkungan yang menciptakan diversitas umat manusia, semenatara gennya sendiri itu sama saja. Dalam perspektif ini, sebenarnya sikap rasialisme tidak dapat diperbolehkan, karena sikap itu menghianati konsepsi bahwa kodrat manusia secara biologis adalah sama.