by Arli A P
Indonesia telah didera krisis multidimensi. Krisis moneter telah menghantam negeri kita selama 10 tahun, walaupun sudah ada tanda perbaikan, namun masih sangat banyak yang harus kita lakukan.
Krisis tersebut sudah merambah ke berbagai bidang, seperti politik, moral, pendidikan, sains-teknologi, budaya, dan religi. Pendekatan multidisipliner untuk tangani krisis masih sangat kurang, karena egoisme sektoral yang kuat.
Istilah artes liberales, yang sering digunakan pada Eropa abad pertengahan, bukan berarti sama dengan ‘seni’ yang dipahami jaman sekarang. Namun lebih mengacu pada cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah pada waktu itu.
Mereka disebut liberal karena mereka ditujukan untuk melatih kecerdasan dari orang bebas, sebagai anti tesis dari artes illiberales, yang digunakan untuk kepentingan ekonomi. Liberal arts bukan digunakan untuk mencari nafkah, namun untuk mempelajari sains.
Sistem liberal arts masih digunakan di sekolah-sekolah di Eropa dan Amerika sejak 2000 tahun yang lalu sampai sekarang. Filusuf besar seperti Pythagoras, Plato, dan St Agustinus sangat berjasa dalam pengembangan liberal arts.
Para filusuf muslim, seperti Ibn Sina, Al Farabi, dan Ibn Rusyd juga mengembangkan paradigma yang serupa. Tidak mengherankan, jika seorang Al Farabi dikenal sebagai filusuf, musisi, dan dokter sekaligus.
Berbeda dengan di Indonesia, dimana kurikulum sekolah sangat tidak jelas orientasinya. Pelajaran apa yang menjadi prioritas, atau mana pelajaran yang untuk kepentingan ekonomi dan mana yang untuk sains, sama sekali tidak jelas. Belum lagi momok ‘ganti menteri ganti kurikulum’ membuat Indonesia sangat sukar membuat kurikulum yang stabil.
Falsafah
Di zaman Yunani Klasik, Plato memprotes dekadensi yang terjadi pada generasi muda, karena penyaringan informasi secara keliru. Pada buku ‘Republik’ Plato menjabarkan konsep kependidikannya. Pada langkah awal, ia dimulai dengan kultur musik-gimnastik, yang berarti menggunakan indera sebagai instrumen untuk mengapresiasi yang indah dan baik.
Langkah kedua, adalah melalui cabang matematika, yaitu aritmatika, geometri, astronomi, dan musik, yang beroperasi dengan kekuatan refleksi kita. Kajian matematika memungkinkan siswa untuk beranjak dari pengetahuan indrawi kepada perspektif intelektual. Siswa dapat secara bertahap menguasai teori angka, bentuk, kinetika, dan bunyi.
Tahap ketiga, atau juga tahap terakhir, adalah penguasaan filsafat. Dalam hal ini, Plato mengajukan basis psikologis dari kajian-kajiannya, yang adalah: pengetahuan indrawi, pengetahuan reflektif, dan pengetahuan intelektual. Menurut Plato, pengetahuan tertinggi berada di dunia ide.
Dalam dunia ide, terdapat pengetahuan mengenai “yang ideal”. Contoh konkret dari pengetahuan ideal adalah mengenai pembentukan negara ideal. Plato tidak percaya dengan demokrasi liberal. Menurut dia, jika rakyat dilepas begitu saja tanpa bimbingan dari orang bijak untuk memerintah suatu negara, maka yang terjadi adalah anarki.
Menurut Plato, seorang negarawan haruslah sekuat seorang raja, namun sebijak seorang filsuf. Persekutuan orang-orang bijak yang memerintah negara, disebut Plato sebagai the guardian. Konsep idealisme Plato ini dioperasionalkan secara konkret oleh para founding father Amerika Serikat.
Pemisahan kekuasaan yang dikenal di Amerika Serikat (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) harus dikepalai dan beranggotakan para guardian. Indonesia mencoba mengaplikasikan konsep Plato, namun dengan modifikasi dan penyesuaian dengan kondisi lokal.
Para founding father kita (Soekarno-Hatta-Syahrir, dll) sangat familiar dengan pemikiran Plato. Bung Hatta pernah mengarang buku tentang Filsafat Yunani Klasik. Konsep guardian Plato menjadi salah satu puncak dari falsafat yang mendasari liberal arts.
Bagaimana konsep dunia ide Plato mempengaruhi perkembangan sains-tek juga terlihat pada gagantifikasi Hukum Gravitasi. Isaac Newton menemukan hukum yang mengatur pergerakan benda langit, yang dikenal sebagai hukum gravitasi. Newton membangun hukum tersebut berdasarkan asumsi ideal, bahwa ruang adalah absolut dan kecepatan cahaya adalah relatif.
Adapun di zaman Newton kecepatan cahaya belum diketahui, sehingga asumsi demikian dibangun. Newton yang sangat dipengaruhi oleh pandangan dunia mekanistik Kartesian (alam semesta adalah suatu jam raksasa, dengan dibantu sekrup-sekrup dan baut-baut yang menggerakkannya) berusaha mencari suatu gagantifikasi hukum mekanistik yang mampu menjelaskan alam semesta itu seperti apa.
Asumsi Kartesian yang digunakan sangat mempengaruhi perumusan Hukum Gravitasi. Rumus F=ma versi Newton telah menjadi rumus klasik yang sudah kita kenal sejak SMP (F=gaya, m=massa, a=percepatan).
Eropa Maju
Selain pada kasus di atas, ternyata hukum gas juga dipengaruhi oleh konsep dunia ideal Plato. Rumus pV=nRT (p=tekanan, V=volume, n=mol, R=konstanta, T=temperatur) sudah menjadi rumus klasik yang kita kenal sejak SMP. Hukum gas ideal merupakan suatu idealisasi dari persamaan yang diikuti oleh gas secara nyata. Secara khusus, ternyata semua gas mengikuti persamaan tersebut jika tekanan semakin mendekati nol.
Persamaan tersebut adalah contoh dari hukum pembatas, yaitu suatu hukum yang tidak diikuti secara pasti oleh gas nyata, namun akan semakin valid ketika tekanan diturunkan dan diikuti secara pasti ketika tekanan menjadi nol. Sementara, gas nyata tidak berperilaku seperti yang ditunjukkan rumus diatas. Hukum gas ideal tidak mempertimbangkan adanya daya tarik dan daya tolak antara molekul gas, yang menjadikan rumus gas nyata mengkoreksi rumus gas ideal.
Kasus “idealisasi” seperti di atas sangat banyak dalam perkembangan sains-tek, di antaranya asumsi Darwin bahwa sifat (trait) organisme diturunkan berdasarkan “percampuran darah”. Darwin percaya bahwa sifat organisme dari offspring pasti merupakan campuran dari sifat kedua orangtuanya. Ternyata asumsi ini tidak benar. Teori Darwin ini akhirnya dikoreksi Mendel dengan Hukum Genetika.
Saintis besar seperti Isaac Newton, Albert Einstein, Charles Darwin, dan Gregor Mendel adalah produk dari sistem pendidikan liberal arts. Mereka mampu memahami semangat keilmiahan dari zamannya, karena sangat memahami falsafah dari sains.
Dari tataran teoretis ini, diharapkan kita bisa memulai wacana mengenai bagaimana memajukan perkembangan sains-tek di bangsa ini. Artikel ini menyodorkan perbedaan kultural yang sangat lebar antara barat dan Indonesia, dalam perspektif falsafah sains. Penulis mencoba menjawab pertanyaan mengapa Eropa bisa sangat maju perkembangan sains-teknya.
Ternyata, kemajuan yang mereka capai adalah karena penguasaan filsafat. Belajar filsafat adalah belajar how to think right dan to find the truth, yang berbeda dengan sekadar think to live atau think to rich.
Sumber: Kolom Opini Sinar Harapan tanggal 4 Maret 2008